Mahir Al-Hujjah Storage
Stor simpan barang da...

By mahirdanial

1. PENDAHULUAN


 

Al-Quran merupakan kitab suci umat Islam yang menjadi sumber hukum dan pandangan hidup (way of life) bagi mereka. Kitab ini dijunjung tinggi dan dihormati oleh setiap muslim di seluruh penjuru dunia selama berabad-abad. Allah Subhânahu wa Ta'âla memberikan jaminan untuk memelihara Al-Quran dari segala penyimpangan hingga hari kiamat. Oleh karena itu, Al-Quran yang ada di tangan kita pada hari ini tetap otentik dan sama dengan Al-Quran yang diturunkan kepada Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam 15 abad yang lampau. Al-Quran yang tetap otentik ini memberikan pengaruh kekuatan luar biasa kepada umat Islam selama mereka mahu berpegang teguh dengannya. Di antara matlamat-matlamat al-Quran al-Karim seperti kata al-Qardhawi :

  1. Mentashihkan akidah sama ada berkaitan uluhiyyah, risalah dan perbahasan.
  2. Membenarkan karamah insani dan hak-haknya.
  3. Mengajar manusia ibadah yang baik kepada Allah.
  4. Menyeru kepada pembersihan jiwa.
  5. Pembentukan usrah yang solehah.
  6. Mengasaskan ummah yang menjadi saksi kepada sekalian manusia.
  7. Dakwah kepada alam insani yang bersifat tolong menolong.


 

Sebahagian ulama menyatakan intipati dalam al-Quran ada empat iaitu permasalahan akidah, permasalahan syariah, perbandingan agama dan akhlak, dan kisah nabi-nabi dan umat dahulu kala.


 

    Beberapa serangan terhadap Al-Quran telah dilakukan oleh para orientalis Barat. Mereka berusaha untuk mengkritik serta meragukan ketepatan Al-Quran. Alphonse Mingana, seorang pendeta Kristian berasal dari Iraq dan guru besar di Universiti Birmingham Inggeris, pada 1927 mengumumkan, "Sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan kritik teks terhadap Al-Quran sebagaimana yang telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab-kitab Kristian yang berbahasa Yunani."

    Kita tentu tidak akan hairan jika orang yang melakukan penyerangan terhadap Al-Quran tersebut berasal dari kalangan Yahudi dan Kristian kerana di dalam al Quran pun Allah telah menyebutkan tentang keazaman orang Yahudi dan Kristian untuk menghapuskan Islam selagi mana orang Islam tidak menurut mereka. Akan tetapi, menjadi sangat tragis dan ironis jika penyerangan itu juga dilakukan oleh kalangan yang menyatakan dirinya sebagai muslim, bahkan berkembang kepada mereka yang berpendidikan tinggi yang memakai label-label Islam.


 

    Ajakan untuk melakukan penafsiran ulang (reinterpretasi) terhadap Al-Quran semakin sering terdengar. Penafsiran ulang tersebut terutama dilakukan terhadap ayat-ayat yang di pandang tidak lagi relevan dengan konteks zaman ini atau dapat menimbulkan problem dengan penganut agama lain. Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh Endar Riyadi mengenai keharusan melakukan interpretasi terhadap teks-teks keagamaan yang selama ini dipandang dan melahirkan cara pandang yang membenci, intoleran dan tidak ramah terhadap orang lain agama sebagai salah satu di antara tiga agenda pokok dalam rangka menampilkan kembali wajah agama (Islam) yang ramah, toleran, dan inklusif.

    Akan tetapi, apakah setiap orang memiliki autoriti untuk menafsirkan Al-Quran? Lantas, siapakah yang memiliki autoriti untuk menafsirkan Al-Quran dan apakah syarat dan adab yang harus dipenuhi olehnya.


 

2. DEFINISI TAFSIR DAN MUFASSIR


 

Tafsir dalam disiplin ilmu Al-Quran tidak sama dengan interpretasi teks lainnya; baik itu teks karya sastera mahupun teks suatu kitab yang dianggap sebagai kitab suci agama tertentu. Ketika kita membahas tafsir Al-Quran, maka pengertiannya harus merujuk pada pengertian yang sesuai dengan sudut pandang (worldview) Islam. Dalam bahasa Arab, kata tafsir (التفسير) bererti (الإيضاح والتبيين) "menjelaskan". Lafaz dengan makna ini disebutkan di dalam Al-Quran,

وَلاَ يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلاَّ جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا

"Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik tafsirnya." (QS Al-Furqan: 33) Maksudnya, paling baik penjelasan dan perinciannya.

    Selain itu, kata tafsir berasal dari derivasi (isytiqâq) al-fasru (الفسر) yang berarti (الإبانة والكشف) "menerangkan dan menyingkap". Di dalam kamus, kata al-fasru juga bermakna menerangkan dan menyingkap sesuatu yang tertutup.

    Adapun secara istilah, para ulama mengemukakan berbagai-bagai definisi mengenai tafsir yang saling melengkapi antara satu definisi dengan definisi lainnya. Imam Az-Zarkasy dalam kitabnya, Al-Burhân fî 'Ulûm Al-Qurân, mendefinisikan tafsir dengan:

علمٌ يُفهم به كتابُ الله تعالى المُنَزَّل على نبيّه محمد صلّى الله عليه وسلّم وبيان معانيه واستخراج أحكامه وحِكَمِه

"Ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam, menjelaskan maknanya, serta menguraikan hukum dan hikmahnya."

    Sementara itu, Imam Jalaluddin As-Suyuthy mendefinisikan tafsir dengan:

علم يبحث عن مراد الله تعالى بقدر الطاقة البشرية, فهو شامل لكل مايتوقف عليه فهم المعنى وبيان المراد.

"Ilmu yang membahas maksud Allah ta'ala sesuai dengan kadar kemampuan manusiawi yang mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan pemahaman dan penjelasan makna.

    Definisi tafsir lainnya dikemukakan oleh Syaikh Muhammad Abdul Azhim Az-Zarqany:

علم يبحث فيه عن أحوال القرآن الكريم من حيث دلالته على مراد الله تعالى بقدر الطاقة البشرية

"Ilmu yang membahas perihal Al-Quran Al-Karim dari segi penunjukan dalilnya sesuai dengan maksud Allah ta'ala berdasarkan kadar kemampuan manusiawi"

    

Ulama berselisih pendapat mengenai perbezaan antara kalimah tafsir dan takwil. Abu Ubaidah berpendapat ia memberi makna yang sama. Al-Gharib pula berpendapat tafsir lebih umum dan luas penggunaannya pada lafaz-lafaz dan mufradatnya dalam kitab-kitab Ilahi.

Al-Maturidi menganggap tafsir adalah memutuskan dengan apa yang dikehendaki Allah. Sedangkan takwil kembali kepada beberapa andaian. (Tarikh ilmi al-Tafsir / Dr. Ali Hasan al-'Aridu).

Rumusan yang dapat dinyatakan bahawa menghimpunkan makna takwil dan tafsir lebih baik daripada memisahkannya. Justeru kedua-duanya memberi makna yang sama seperti pendapat Ibn Jarir.


 

3. SYARAT-SYARAT MUFASSIR DAN ADAB-ADABNYA


 

    Dari penjelasan mengenai definisi tafsir di atas, kita mengetahui bahwa menafsirkan Al-Quran merupakan amanah berat. Oleh karena itu, tidak setiap orang memiliki autoriti untuk memikul amanah tersebut. Siapa saja yang ingin menafsirkan Al-Quran harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Adanya persyaratan ini merupakan suatu hal yang wajar dalam semua bidang ilmu.

Para ulama banyak membahaskan syarat-syarat tafsir al-Quran sebelum ditafsirkannya seperti al-Suyuti melalui kitabnya, al-Itqan Fi Ulum al-Quran, Syeikh Ibn Taimiyah dengan Mukadimah Fi Usul al-Tafsir, Ibn al-Qayyim dengan al-Tibyan Fi Aqsam al-Quran, al-Zarkasyi dengan al-Burhan, al-Zurqani dengan Manahil al-Irfan dan ramai lagi ulama. Menurut Ahmad Bazawy Adh-Dhawy, syarat mufassir secara umum terbagi menjadi dua: aspek pengetahuan dan aspek kepribadian.


 

  1. Syarat Pertama: Aspek Pengetahuan

    Aspek pengetahuan adalah syarat yang berkaitan dengan seperangkat ilmu yang membantu dan memiliki urgensitas untuk menyingkap suatu hakikat. Tanpa seperangkat ilmu tersebut, seseorang tidak akan memiliki kapabiliti untuk menafsirkan Al-Quran karena tidak terpenuhi faktor-faktor yang menjamin dirinya dapat menyingkap suatu hakikat yang harus dijelaskan. Para ulama memberikan istilah untuk aspek pengetahuan ini dengan syarat-syarat seorang alim.

    Syarat yang berkaitan dengan aspek pengetahuan yang harus dikuasai oleh seorang mufassir ini dibahagi menjadi dua, iaitu: syarat pengetahuan murni dan syarat manhajiyah (berkaitan dengan metode). Imam Jalaluddin As-Suyuthy dalam Al-Itqân fî 'Ulûm al-Qurân menyebutkan lima belas ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir. Lima belas ilmu tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Bahasa Arab karena dengannya seorang mufassir mengetahui penjelasan kosakata suatu lafal dan maksudnya sesuai dengan objek.

        Oleh karena demikian urgennya penguasaan terhadap bahasa Arab dalam menafsirkan Al-Quran, Mujahid bahkan mengatakan,

لا يحل لأحد يؤمن بالله واليوم الآخر أن يتكلم في كتاب الله إذا لم يكن عالمًا بلغات العرب‏.

"Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir berbicara mengenai sesuatu yang terdapat dalam Kitâbullâh apabila ia tidak mengetahui bahasa Arab."

  1. Nahwu karena suatu makna bisa saja berubah-ubah dan berlainan sesuai dengan perbedaan i'rab.
  2. Tashrîf (sharaf) karena dengannya dapat diketahui binâ' (struktur) dan shîghah (tense) suatu kata.
  3. Isytiqâq (derivasi) karena suatu nama apabila isytiqâqnya berasal dari dua subjek yang berbeda, maka artinya pun juga pasti berbeda. Misalnya (المسيح), apakah berasal dari (السياحة) atau (المسح‏).
  4. Al-Ma'âni karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi manfaat suatu makna.
  5. Al-Bayân karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi perbedaannya sesuai dengan jelas tidaknya suatu makna.
  6. Al-Badî' karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi keindahan suatu kalimat.

        Ketiga ilmu di atas disebut ilmu balaghah yang merupakan ilmu yang harus dikuasai dan diperhatikan oleh seorang mufassir agar memiliki sense terhadap keindahan bahasa (i'jâz) Al-Quran.

  7. Ilmu qirâ'ah karena dengannya dapat diketahui cara mengucapkan Al-Quran dan kuat tidaknya model bacaan yang disampaikan antara satu qâri' dengan qâri' lainnya.
  8. Ushûluddîn (prinsip-prinsip dien) yang terdapat di dalam Al-Quran berupa ayat yang secara tekstual menunjukkan sesuatu yang tidak boleh ada pada Allah ta'ala. Seorang ahli ushul bertugas untuk menakwilkan hal itu dan mengemukakan dalil terhadap sesuatu yang boleh, wajib, dan tidak boleh.
  9. Ushul fikih karena dengannya dapat diketahui wajh
    al-istidlâl (segi penunjukan dalil) terhadap hukum dan istinbâth.
  10. Asbâbun Nuzûl (sebab-sebab turunnya ayat) karena dengannya dapat diketahui maksud ayat sesuai dengan peristiwa diturunkannya.
  11. An-Nâsikh wa
    al-Mansûkh agar diketahui mana ayat yang muhkam (ditetapkan hukumnya) dari ayat selainnya.
  12. Fikih.
  13. Hadits-hadits penjelas untuk menafsirkan yang mujmal (global) dan mubham (tidak diketahui).
  14. Ilmu muhibah, yaitu ilmu yang Allah ta'ala anugerahkan kepada orang yang mengamalkan ilmunya.

        Dalam sebuah hadits disebutkan,

من عمل بما علم ورثه الله علم ما لم يعلم

"Siapa yang mengamalkan ilmunya, maka Allah akan menganugerahinya ilmu yang belum ia ketahui."

    Ibnu Abid Dunya mengatakan, "Ilmu Al-Quran dan istinbâth darinya merupakan lautan yang tidak bertepi."

    Ilmu-ilmu di atas merupakan alat bagi seorang mufassir. Seseorang tidak memiliki otoritas untuk menjadi mufassir kecuali dengan menguasai ilmu-ilmu ini. Siapa saja yang menafsirkan Al-Quran tanpa menguasai ilmu-ilmu tersebut, berarti ia menafsirkan dengan ra'yu (akal) yang dilarang. Namun apabila menafsirkan dengan menguasai ilmu-ilmu tersebut, maka ia tidak menafsirkan dengan ra'yu (akal) yang dilarang.

    Adapun bagi seorang mufassir kontemporer, menurut Ahmad Bazawy Adh-Dhawy, maka ia harus menguasai tiga syarat pengetahuan tambahan selain lima belas ilmu di atas. Tiga syarat pengetahuan tersebut adalah:

  1. Mengetahui secara sempurna ilmu-ilmu kontemporer hingga mampu memberikan penafsiran terhadap Al-Quran yang turut membangun peradaban yang benar agar terwujud universalitas Islam.
  2. Mengetahui pemikiran filsafat, sosial, ekonomi, dan politik yang sedang mendominasi dunia agar mufassir mampu mengcounter setiap syubhat yang ditujukan kepada Islam serta memunculkan hakikat dan sikap Al-Quran Al-Karim terhadap setiap problematika kontemporer. Dengan demikian, ia telah berpartisipasi dalam menyadarkan umat terhadap hakikat Islam beserta keistimewaan pemikiran dan peradabannya.
  3. Memiliki kesadaran terhadap problematika kontemporer. Pengetahuan ini sangat urgen untuk memperlihatkan bagaimana sikap dan solusi Islam terhadap problem tersebut.


 

    Selain harus menguasai ilmu-ilmu di atas, seorang mufassir harus memperhatikan manhaj yang ditempuh dalam menafsirkan Al-Quran. Imam Jalaluddin As-Suyuthy mengatakan, "Siapa yang ingin menafsirkan Al-Quran yang mulia maka pertama kali ia harus mencari tafsirnya dari Al-Quran. Ayat yang bermakna global pada suatu tempat ditafsirkan dengan ayat pada tempat lain dan ayat yang ringkas pada suatu tempat diperluas penjelasannya dengan ayat pada tempat lainnya. Apabila tidak menemukannya, maka ia harus mencarinya dari As-Sunnah karena ia (As-Sunnah) merupakan penjelas bagi Al-Quran. Apabila tidak menemukannya dari As-Sunnah, maka ia harus mengembalikannya kepada pendapat para sahabat karena mereka lebih mengetahui penafsiran Al-Quran. Sebab, merekalah yang menyaksikan konteks dan kondisi pada saat turunnya ayat. Selain itu, mereka juga diberi kekhususan berupa pemahaman yang sempurna, ilmu yang shahih, dan amal yang shalih. Ketika terjadi kontradiksi antarpendapat para sahabat, maka harus dikembalikan kepada pendapat yang paling kuat dalilnya. Misalnya perbedaan pendapat mereka mengenai makna huruf-huruf hijâ' (alphabet), maka harus dikembalikan pada pendapat orang yang mengatakan, 'Maknanya adalah qasam (sumpah)'."

    Manhaj (metode) seperti yang dikemukakan oleh Imam As-Suyuthy di atas di kalangan para ulama dikenal dengan istilah tafsîr bil ma'tsûr. Manhaj ini yang pertama kali harus ditempuh oleh seorang mufassir sebelum ia menafsirkan dengan ra'yu sebatas yang diperbolehkan. Manhaj tafsîr bil ma'tsûr tersebut akan dijelaskan sekilas di bawah ini.


 

  • Menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran

    Ayat Al-Quran terkadang disebutkan secara global dan ditafsirkan secara rinci pada ayat lain. Demikian juga, ayat yang ringkas ditafsirkan secara lusa pada ayat lain. Contoh penafsiran Al-Quran dengan Al-Quran adalah firman Allah ta'ala dalam surat Al-Fatihah: 6-7.

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ * صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ

"Tunjukilah kami jalan yang lurus,
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni`mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat."

    Orang-orang yang dianugerahi nikmat kepada mereka ditafsirkan dengan firman Allah ta'ala,

وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا

"Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya." (QS An-Nisa': 69)

    Contoh lainnya adalah firman Allah,

فَتَلَقَّى ءَادَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

"Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang." (QS Al-Baqarah: 37)

    Beberapa kalimat dalam ayat ini ditafsirkan dalam ayat lainnya, yaitu firman Allah ta'ala,

قَالاَ رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

"Keduanya berkata, 'Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi'." (QS Al-A'raf: 23)

    Penafsiran ini diriwayatkan dari banyak mufassir dari kalangan tabi'in.


 

  • Menafsirkan Al-Quran dengan As-Sunnah

    Sunnah Nabawiyah berfungsi untuk mensyarah Al-Quran, menjelaskan yang mujmal (global), memuqayyadkan yang mutlak, mengkhususkan yang umum, menerangkan yang mubham (tidak dimengerti), menafsirkan yang musykil (rumit), merinci yang ringkas, menyingkap bagian yang samar, dan memperlihatkan maksudnya. Demikian juga, Sunnah Nabawiyah datang dengan hukum-hukum yang tidak terdapat dan tidak ditentukan dalam Kitabullah. Sunnah Nabawiyah tidak keluar dari kaidah, pokok, maksud, dan tujuan Kitabullah. Tidak mungkin mencampakkan Sunnah Nabawiyah dan tidak boleh pula meremehkannya dalam kondisi apa pun. Hal itu karena urgensitasnya dalam memahami agama Allah, menafsirkan Kitab-Nya, dan mengamalkannya.

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menukil perkataan Imam Asy-Syafi'i, "Setiap hukum yang diputuskan oleh Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam berasal dari pemahamannya terhadap Al-Quran. Allah ta'ala berfirman,

إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللهُ

"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu." (QS An-Nisa': 105)

    Contoh penafsiran Al-Quran dengan As-Sunnah di antaranya adalah tafsir al-maghdhûb 'alaihim (mereka yang dimurkai) dengan Yahudi dan adh-dhâllîn (mereka yang sesat) dengan Nasrani dalam surat Al-Fatihah. Ahmad, At-Tirmidzy, dan Ibnu Hiban dalam Shahîhnya meriwayatkan dari 'Ady bin Hatim, dia berkata: Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya mereka yang dimurkai adalah Yahudi dan mereka yang sesat adalah Nasrani."

    Tafsir ini diperkuat dengan firman Allah ta'ala,

قُلْ هَلْ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذَلِكَ مَثُوبَةً عِنْدَ اللهِ مَنْ لَعَنَهُ اللهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ وَعَبَدَ الطَّاغُوتَ أُولَئِكَ شَرٌّ مَكَانًا وَأَضَلُّ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ

"Katakanlah, 'Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?' Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus." (QS Al-Maidah: 60)

    Yang dimaksud dengan mereka adalah Yahudi. Demikian juga firman Allah ta'ala,

قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلاَ تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ

"Katakanlah, 'Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus'." (QS Al-Maidah: 77)

    Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam menjadikan Yahudi sebagai contoh tipikal terhadap setiap orang yang rusak irâdah (kemauan)nya. Mereka mengetahui kebenaran, namun menyimpang darinya. Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam menjadikan Nasrani sebagai contoh tipikal terhadap setiap orang yang tidak memiliki ilmu dan ingin meraih kebenaran. Mereka kebingungan dalam kesesatan dan tidak mendapatkan petunjuk menuju kebenaran.

    Contoh lainnya adalah tafsir azh-zhulmu (kezaliman) dalam firman Allah ta'ala,

الَّذِينَ ءَامَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ

"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS Al-An'am: 82)

    Ahmad, Bukhari, Muslim, dan perawi lainnya meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, ia berkata, "Tatkala turun ayat ini, 'Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman', para sahabat merasa keberatan. Mereka berkata, 'Ya Rasulullah, siapakah di antara kita yang tidak berbuat kezaliman terhadap dirinya?' Rasulullah bersabda, 'Sesungguhnya artinya bukanlah yang kalian maksudkan. Tidakkah kalian mendengar apa yang dikatakan oleh seorang hamba shalih (Lukman), 'Sesungguhnya syirik
adalah kezaliman yang besar'. Sesungguhnya kezaliman (yang dimaksud dalam ayat itu) adalah syirik."


 

  • Mengambil pendapat para sahabat

    Abu Abdurrahman As-Salma, seorang tabi'in yang mulia, meriwayatkan dari para senior penghapal Al-Quran dari sahabat Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam bahwa apabila turun kepada mereka sepuluh ayat, mereka tidak langsung melaluinya hingga mengetahui ilmu dan amal yang terdapat di dalamnya. Mereka mengatakan, "Kami mempelajari Al-Quran, ilmu, dan amal secara keseluruhan."

    Diriwayatkan dari sahabat yang mulia, Abdullah bin Mas'ud, bahwa ia berkata, "Barangsiapa di antara kalian ingin meneladani seseorang, maka hendaknya ia meneladani para sahabat Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang paling bersih hatinya di kalangan umat ini, paling mendalam ilmunya, paling sedikit bebannya, paling lurus petunjuknya, dan paling baik keadaannya. Allah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya shallallâhu 'alaihi wa sallam dan menegakkan din-Nya. Kenalilah keutamaan mereka dan ikutilah atsar mereka."

    Para sahabat menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, lalu dengan As-Sunnah. Apabila tidak mendapatkan tafsir dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam, mereka melakukan ijtihad karena mereka adalah orang Arab tulen, menyaksikan turunnya Al-Quran, dan menghadiri majelis-majelis Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam, sementara Al-Quran turun dengan bahasa Arab yang jelas. Kita mengambil tafsir sahabat dan lebih memprioritaskannya daripada tafsir generasi sesudahnya karena pada diri mereka terpenuhi sarana-sarana untuk melakukan ijtihad sebagai berikut:

    Pertama, mereka mengetahui maksud dan rahasia bahasa Arab. Hal ini membantu mereka untuk mengetahui ayat-ayat yang pemahamannya berkaitan dengan pemahaman bahasa Arab.

    Kedua, mereka mengetahui adat dan karakter bangsa Arab. Hal ini membantu mereka untuk memahami ayat-ayat yang berkaitan dengan perbaikan adat dan perilaku mereka, seperti firman Allah ta'ala, (إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ) "Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran" (QS At-Taubah: 37) dan (وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا) "Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya" (QS Al-Baqarah: 189). Ayat seperti ini hanya dapat dipahami oleh orang yang mengetahui adat Arab pada masa jahiliyah.

    Ketiga, mereka mengetahui keadaan yahudi dan Nasrani di Jazirah Arab pada saat turunnya Al-Quran Al-Karim. Hal ini membantu mereka untuk mengetahui ayat-ayat yang membicarakan Yahudi dan Nasrani, perkara-perkara yang mereka (Yahudi dan Nasrani) lakukan, dan bagaimana mereka memusuhi kaum Muslimin.

    Keempat, mereka mengetahui asbâb an-nuzûl (sebab-sebab turunnya ayat) karena mereka menyaksikan turunnya ayat dan ikut terlibat dalam berbagai peristiwa yang disebutkan Al-Quran. Pengetahuan mengenai hal itu membantu mereka untuk memahami banyak ayat. Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah rahimahullâh ta'âlâ mengatakan, 'Mengetahui asbâb an-nuzûl dapat membantu untuk memahami suatu ayat karena pengetahuan terhadap sebab akan melahirkan pengetahuan terhadap musabab.'

    Kelima, mereka memiliki kekuatan dalam pemahaman dan pengetahuan. Allah telah menganugerahkan kepada mereka akal dan pemahaman yang dengannya mereka dapat melihat banyak faktor secara jelas. Ini merupakan perkara yang sudah maklum dari sejarah perjalanan hidup para sahabat radhiyallâhu 'anhum. Dengan faktor-faktor tersebut, para sahabat banyak memahami ayat Al-Quran Al-Karim yang tidak terdapat tafsirnya dalam Al-Quran dan As-Sunnah.

    Tafsir sahabat berdasarkan hukumnya terbahagi menjadi dua:

  1. Apabila termasuk perkara yang di luar wilayah akal, misalnya perkara-perkara ghaib, asbâb an-nuzûl, dan sebagainya, maka hukumnya marfû'. Wajib mengambilnya.
  2. Apabila selain itu, yaitu perkara yang kembali pada ijtihad para sahabat, maka hukumnya mauqûf selama sanadnya tidak bersandar kepada Rasul shallallâhu 'alaihi wa sallam. Sebagian ulama mewajibkan untuk mengambil tafsir sahabat yang mauqûf karena mereka menyaksikan korelasi dan kondisi yang dikhususkan kepada mereka dan tidak dikhususkan kepada selain mereka.

    Imam Abu Ya'la menyatakan wajibnya berpegang pada tafsir sahabat. Ia mengatakan, "Adapun tafsir sahabat, maka wajib kembali padanya. Inilah kesimpulan dari pendapat Ahmad rahimahullâh di beberapa tempat dalam Musnadnya bagian kitab thâ'ah Ar-Rasûl (menaati Rasul) shallallâhu 'alaihi wa sallam … Alasannya adalah karena mereka menyaksikan peristiwa turunnya Al-Quran dan menghadiri takwil sehingga mengetahui penafsirannya. Oleh karena itu, kami menganggap perkataan mereka sebagai hujjah."

    Contoh tafsir sahabat di antaranya adalah yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah ta'ala,

أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلاَ يُؤْمِنُونَ

"Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang rapat, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?" (QS Al-Anbiya': 30)

    Ibnu Abbas mengatakan, "Langit dahulu rapat, yaitu tidak menurunkan hujan. Bumi dahulu rapat, yaitu tidak mengeluarkan tumbuhan. Lalu Allah memisahkan langit dengan hujan dan bumi dengan tumbuhan." Seseorang kemudian datang kepada Ibnu Umar radhiyallâh 'anhumâ dan memberitahukan apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas. Ibnu Umar berkata, "Aku katakan, mengapa aku harus heran terhadap keberanian Ibnu Abbas dalam menafsirkan Al-Quran. Sekarang engkau telah mengetahui bahwa ia dianugerahi ilmu." Atsar ini diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah. As-Suyuthy juga menyebutnya dalam Al-Itqân.


 

  • Mengambil pendapat para kibâr (senior) tabi'in, seperti Mujahid, Ibnu Jabr, Sa'id Ibnu Jubair, 'Ikrimah dan 'Atha' bin Abi Ribah, Al-Hasan Al-Bashry, Masruq bin Al-Ajda', Sa'id bin Musayyib, dan sebagainya yang mempelajari langsung semua tafsir dari para sahabat ridhwânullâh 'alaihim.

    Terdapat perbedaan pendapat di antara ulama mengenai hukum mengambil tafsir yang dinukil dari tabi'in. Pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama menyatakan bahwa tafsir tabi'in termasuk tafsir bil ma'tsûr karena secara umum mereka mempelajarinya dari sahabat.

    Al-Hafizh Ibnu Rajab menyatakan bahwa ilmu yang paling utama dalam tafsir adalah atsar dari sahabat dan tabi'in. Ia mengatakan, "Ilmu paling utama dalam tafsir Al-Quran, makna hadits, serta pembicaraan mengenai yang halal dan yang haram adalah atsar yang berasal dari sahabat, tabi'in, dan orang-orang yang mengikuti mereka hingga berakhir pada zaman para imam Islam yang terkenal dan terteladani."


 

    Setelah menempuh manhaj tafsir bil ma'tsûr terlebih dahulu, barulah seorang mufassir diperbolehkan menggunakan ra'yunya dalam menafsirkan Al-Quran dengan tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan dan kaidah-kaidah tafsir. Sebab, menurut Syaikh Muhammad Al-Ghazali, tafsir bil ma'tsûr akan berhenti pada makna-makna, pemahaman, dan pesan-pesan yang disampaikan oleh riwayat-riwayat yang ada. Sementara itu, tafsir bir ra'yi –yang sesuai dengan kaidah— itulah yang justru berpotensi untuk terus berkembang dan tidak berhenti. Karena tafsir yang demikian yang terus berinteraksi dengan masalah-masalah sastra, kalam, bahasa, hukum, dan problematika kehidupan lainnya.

    Oleh karena itu, Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi kemudian menawarkan karakteristik tafsir ideal yang diharapkan sesuai dengan kaidah yang diakui para ulama dan pada saat yang sama dapat mengiringi ritme perkembangan zaman. Karakteristik-karakteristik tafsir ideal tersebut secara ringkas adalah sebagai berikut:

Pertama, menggabungkan antara riwayah dan dirayah.

Kedua, menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran.

Ketiga, menafsirkan Al-Quran dengan sunnah yang shahih.

Keempat, memanfaatkan tafsir sahabat dan tabi'in.

Kelima, mengambil kemutlakan bahasa Arab.

Keenam, memperhatikan konteks redaksional ayat.

Ketujuh, memperhatikan asbâb an-nuzul.

Kedelapan, meletakkan Al-Quran sebagai referensi utama.


 

  1. Syarat Kedua: Aspek Keperibadian

     Adapun syarat kedua yang harus terpenuhi pada diri seorang mufassir adalah syarat yang berkaitan dengan aspek kepribadian. Yang dimaksud dengan aspek kepribadian adalah akhlak dan nilai-nilai ruhiyah yang harus dimiliki oleh seorang mufassir agar layak untuk mengemban amanah dalam menyingkap dan menjelaskan suatu hakikat kepada orang yang tidak mengetahuinya. Para ulama salaf shalih mengartikulasikan aspek ini sebagai adab-adab seorang alim.

    Imam Abu Thalib Ath-Thabary mengatakan di bagian awal tafsirnya mengenai adab-adab seorang mufassir, "Ketahuilah bahwa di antara syarat mufassir yang pertama kali adalah benar akidahnya dan komitmen terhadap sunnah agama. Sebab, orang yang tertuduh dalam agamanya tidak dapat dipercaya dalam urusan duniawi, maka bagaimana dalam urusan agama? Kemudian ia tidak dipercaya dalam agama untuk memberitahukan dari seorang alim, maka bagaimana ia dipercaya untuk memberitahukan rahasia-rahasia Allah ta'ala? Sebab seseorang tidak dipercaya apabila tertuduh sebagai atheis adalah ia akan mencari-cari kekacauan serta menipu manusia dengan kelicikan dan tipu dayanya seperti kebiasaan sekte Bathiniyah dan sekte Rafidhah ekstrim. Apabila seseorang tertuduh sebagai pengikut hawa nafsu, ia tetap tidak dapat dipercaya karena akan menafsirkan Al-Quran berdasarkan hawa nafsunya agar sesuai dengan bid'ahnya seperti kebiasaan sekte Qadariyah. Salah seorang di antara mereka menyusun kitab dalam tafsir dengan maksud sebagai penjelasan paham mereka dan untuk menghalangi umat dari mengikuti salaf dan komitmen terhadap jalan petunjuk."

    Sementara itu, Imam As-Suyuthy mengatakan, "Ketahuilah bahwa seseorang tidak dapat memahami makna wahyu dan tidak akan terlihat olehnya rahasia-rahasianya sementara di dalam hatinya terdapat bid'ah, kesombongan, hawa nafsu, atau cinta dunia, atau gemar melakukan dosa, atau lemah iman, atau bersandar pada pendapat seorang mufassir yang tidak memiliki ilmu, atau merujuk kepada akalnya. Semua ini merupakan penutup dan penghalang yang sebagiannya lebih kuat daripada sebagian lainnya. Saya katakan, inilah makna firman Allah ta'ala,

سَأَصْرِفُ عَنْ ءَايَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ

"Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku." (QS Al-A'raf: 146)

    Sufyan bin 'Uyainah mengatakan, 'Para ulama mengatakan bahwa maksud ayat di atas adalah dicabut dari mereka pemahaman mengenai Al-Quran.' Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim."

    Berdasarkan perkataan Imam As-Suyuthy di atas, Ahmad Bazawy Adh-Dhawy meringkaskan sejumlah adab yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, yaitu:

  1. Akidah yang lurus
  2. Terbebas dari hawa nafsu
  3. Niat yang baik
  4. Akhlak yang baik
  5. Tawadhu' dan lemah lembut
  6. Bersikap zuhud terhadap dunia hingga perbuatannya ikhlas semata-mata karena Allah ta'ala
  7. Memperlihatkan taubat dan ketaatan terhadap perkara-perkara syar'i serta sikap menghindar dari perkara-perkara yang dilarang
  8. Tidak bersandar pada ahli bid'ah dan kesesatan dalam menafsirkan
  9. Bisa dipastikan bahwa ia tidak tunduk kepada akalnya dan menjadikan Kitâbullâh sebagai pemimpin yang diikuti.

    Selain sembilan point di atas, Syaikh Manna' Al-Qaththan menambahkan beberapa adab yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, yaitu:

  1. Mengamalkan ilmunya dan bisa dijadikan teladan
  2. Jujur dan teliti dalam penukilan
  3. Berjiwa mulia
  4. Berani dalam menyampaikan kebenaran
  5. Berpenampilan simpatik
  6. Berbicara tenang dan mantap
  7. Mendahulukan orang yang lebih utama dari dirinya
  8. Siap dan metodologi dalam membuat langkah-langkah penafsiran

    Syaikh Thahir Mahmud Muhammad Ya'kub juga mengemukakan syarat yang berkaitan dengan sifat-sifat mufassir.
Syarat-syarat terpenting tersebut di antaranya adalah sebagai berikut

  • Akidah yang shahih dan pemikiran yang bersih
  • Maksud yang benar dan niat yang ikhlas
  • Mentadabburi dan mengamalkan Al-Quran secara mendalam
  • Mengetahui pokok-pokok ilmu yang berhubungan dengan Al-Quran Al-Karim dan tafsirnya, seperti ilmu qiraah, asbâb an-nuzûl, nâsikh dan mansûkh
  • Bersandar pada naql (penukilan) yang benar
  • Mengetahui bahasa Arab dan uslubnya
  • Tidak segera menafsirkan berdasarkan bahasa sebelum menafsirkan berdasarkan atsar
  • Ketika terdapat beragam makna i'rab, wajib memilih makna yang sesuai dengan atsar yang shahih sehingga i'rab mengikuti atsar
  • Mengetahui kaidah-kaidah yang dikemukakan salafush shalih untuk memahami dan menafsirkan Al-Quran
  • Mengetahui kaidah-kaidah tarjîh menurut para mufassir
  • Tidak membicarakan secara panjang lebar perkara-perkara yang hanya diketahui oleh Allah, misalnya asma' dan sifat-Nya, serta tidak terburu-buru dalam menetapkan sifat Allah ta'ala dari Al-Quran Al-Karim.
  • Berlepas diri dari hawa nafsu dan ta'ashub madzhabi
  • Tidak mengambil tafsir dari ahli bid'ah, seperti Mu'tazilah, Khawarij, para pentakwil sifat Allah, dan sebagainya
  • Menghindari israiliyat
  • Menjauhi masalah-masalah kalamiah dan pemikiran-pemikiran filsafat yang jauh dari Al-Kitab dan As-Sunnah serta berkontradiksi dengan keduanya
  • Tidak membebani diri dalam tafsir ilmiah
  • Jujur ketika menukil
  • Mendahulukan orang yang lebih utama darinya dalam mengambil dan menukil tafsir serta mengembalikan kepada orang yang ia mengambil darinya.

    Termasuk adab yang harus diperhatikan oleh mufassir adalah ia wajib menghindari perkara-perkara berikut ketika menafsirkan Al-Quran:

  1. Terlalu berani menjelaskan maksud Allah ta'ala dalam firman-Nya padahal tidak mengetahui tata bahasa dan pokok-pokok syariat serta tidak terpenuhi ilmu-ilmu yang baru boleh menafsirkan jika menguasainya.
  2. Terlalu jauh membicarakan perkara yang hanya diketahui oleh Allah, seperti perkara-perkara mutasyâbihât. Seorang mufassir tidak boleh terlalu berani membicarakan sesuatu yang ghaib setelah Allah ta'ala menjadikannya sebagai salah satu rahasia-Nya dan hujjah atas hamba-hamba-Nya.
  3. Mengikuti hawa nafsu dan anggapan baik (istihsân).
  4. Tafsir untuk menetapkan madzhab yang rusak dengan menjadikan madzhab tersebut sebagai landasan, sementara tafsir mengikutinya. Akibatnya, seseorang akan melakukan takwil sehingga memalingkan makna ayat sesuai dengan akidahnya dan mengembalikannya pada madzhabnya dengan segala cara.
  5. Tafsir dengan memastikan bahwa maksud Allah begini dan begini tanpa landasan dalil. Perbuatan ini dilarang secara syar'i berdasarkan firman Allah ta'ala,

وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

"Dan (janganlah) mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui." (QS Al-Baqarah: 169)


 

4. PENUTUP


 

Demikianlah penjelasan mengenai syarat-syarat mufassir Al-Quran dan adab-adabnya yang sangat ketat. Dari huraian di atas, dapatlah kita buat kesimpulan bahwa tafsir Al-Quran adalah interpretasi berdasarkan pada ilmu pengetahuan yang mapan. Oleh karena itu, sebagaimana dinyatakan Prof. Syed Naquib Al-Attas, di dalam tafsir tidak ada ruang bagi terkaan atau dugaan yang gegabah, atau ruang bagi interpretasi yang berdasarkan pada penafsiran atau pemahaman yang subjektif atau yang berdasarkan hanya pada ide-ide relativisme historis, seakan-akan perubahan semantik telah terjadi dalam struktur-struktur konseptual kata-kata dan istilah-istilah yang membentuk kosa-kata kitab suci ini.

    Dengan begitu, batallah tudingan miring orang-orang yang menyatakan bahwa metode tafsir "klasik" Al-Quran tidak perlu digunakan lagi karena metode tafsir tradisional sangat "ahistoris" (mengabaikan konteks sejarah) dan "uncritical" (tidak kritis) sehingga kita perlu mencari alternatif ilmu tafsir pengganti yang cocok untuk saat ini, iaitu hermeneutika. Jika ingin dibandingkan antara metode tafsir yang telah dikembangkan oleh para ulama kita selama berabad-abad dengan hermeneutika yang diadapsi dari metode kritik Bible, maka jelaslah sangat tidak sebanding. Metode tafsir Al-Quran para mufassirun dari kalangan ulama kita jauh lebih unggul daripada hermeneutika. Para mufassirun kita telah menghasilkan berjilid-jilid kitab dalam bidang tafsir Al-Quran, sementara itu ada berapa jilid kitab yang telah dihasilkan oleh para pemuja buta hermeneutika tersebut?

    Menafsirkan Al-Quran tanpa landasan ilmu merupakan dosa besar yang sangat berat ancamannya. Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

"Barangsiapa yang berkata tentang Al-Quran tanpa landasan ilmu hendaknya ia menempati posisinya di neraka." (HR At-Tirmidzi [2874)

    Orang yang dipenuhi pada dirinya syarat-syarat mufassir diperbolehkan untuk menafsirkan Al-Quran sesuai dengan kaedah dan aturan yang berlaku. Akan tetapi jika seseorang tidak dapat mencapai kriteria syarat-syarat mufassir, maka sikap yang mesti diambil adalah mengikuti penafsiran para ulama yang berkompiten dalam bidang ini; malah bukan berani membuat model tafsir baru atau bid'ah sehingga menimbulkan kerancuan (syubhât) dalam memahami Islam. Syeikh al-Islam Ibn Taimiyah dalam Mukadimah Fi Usul al-Tafsir halaman 83, memberi peringatan kepada golongan yang berpaling daripada tafsir al-Sahabat dan al-Tabiin tegasnya, ``Sesiapa yang berpaling daripada mazhab-mazhab sahabat dan al-Tabiin, sedangkan tafsir mereka bercanggah daripada yang demikian itu, sebenarnya dia tersilap dan juga ahli bidaah.


 

Wallâhu a'lam.


 


 


 

5. BIBLIOGRAFI


 

Abu Syuhbah, Muhammad. 1408 H. Al-Isrâiliyât wa Al-Maudhû'ât fî Kutub At-Tafsîr. KSA: Maktabah As-Sunnah.

Adh-Dhawy, Ahmad Bazawy. Syurûth Al-Mufassir wa Âdâbuhu dalam
http://www.ahlalhdeeth.com /vb/showthread.php?t=82245
Diakses pada 30 Agustus
2007.

As-Suyuthy, Jalaluddin. Al-Itqân fî 'Ulûm al-Qurân. E-book. Diakses dari Mauqi' Umm Al Kitâb li Al-Abhâts wa Ad-Dirâsât Al-Ilikturûniyah: www.omelketab.net pada 6 September 2007.

http://azlanraihan.blogspot.com/2007/02/mentafsir-al-quran-syarat-dan-adabnya.html (27.10.09)

msiumsddii.files.wordpress.com/2008/01/syarat-mufassir-revisi.doc (27.10.09)

Riyadi, Endar. 2007. Melampaui Pluralisme; Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama. Jakarta: RMBooks.


 


 

 

By mahirdanial

الإعداد : عدنان بن درحمن

P44840

ثمرة الخلاف عند الأصوليين فى الدلالات

كيفية تعلق الأحكام بالخطاب

اهتم علماء أصول الفقه بالمباحث الدلالية لأهميتها لاستنتاج الأحكام الشرعية من النصوص الدينية. لذا نجدهم في كتبهم يعالجون مسائل العلاقة بين اللفظ والمعنى، والحقيقة والمجاز، والاشتراك اللفظي والترادف، والعام والخاص وغير ذلك. كذلك نجدهم يستعرضون أنواع الدلالات: اللغوية وغير اللغوية.


بيان تعلق الأحكام بالخطاب وكونه دالا عليها فمن أربعة وجوه : من حيث العبارة ، والإشارة ، والإقتضاء ، والدلالة ( أى دلالة الخطاب أو مفهوم المخالفة ) – عند عامة أهل الإصول . وبعضهم نقص عن هذه الأربعة وبعضهم زاد عليها ( محمد زكى : 1989م : 127 ) .

قال التفتازانى فى التلويح على عبيد الله بن مسعود ( التوضيح ، 1: 248 : قوله : التقسيم الرابع : فى كيفية دلالة اللفظ على المعنى وقد حصروها فى : عبارة النص وإشارته ودلالته وإقتضائه ووجه ضبطه .


 


 


 


 


 

إصطلاح الحنفية فى الدلالات :

وقسموا دلالة اللفظ إلى أبعة الأقسام :

  1. عبارة النص وهو اللفظ ومعناها دلالة اللفظ على المعنى مقصودا أصليا أو غير أصلى .

    قوله تعالى : ( فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع ) ودلت هذه الآية على قصر العدد ( سيق له اللفظ ) وإباحة النكاح ( لم يسق له ) .

2- إشارة النص وهى دلالته على مالم يقصد له اللفظ أصلا ، وهذا المعنى يتفاوت الناس فى فهمه

لأنه يحتاج إلى تأمل .

قوله تعالى : ( وعلى المولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف )

عبارة النص وهو أن نفقة الوالدات المرضعات إذا كن مطلقات على الأب

إشارة النص وهو أن الولد مختص النسب بالأب لا بالأم و إنفراد الوالد بنفقته

3- دلالة النص وهى دلالته على ثبوت حكم ما ذكر لما سكت عنه لفهم المناط بمجرد فهم اللغة

وذلك ما يسمى فى اصطلاح آخر بالقياسى الجلى .

قوله تعالى : ( فلا تقل لهما أف ولا تنهرهما )

عبارة النص وهى النهى عن التأفف ومناط هذا النهى يفهم بمجرد فهم اللغة وهو الأذى فيدل على

النهى عن الضرب .

اختلف المشايخ فى دلالة النص :

فقال بعضهم : إن دلالة النص والقياس سواء لان حد القياس ليس إلا إثبات مثل حكم المنصوص عليه ، فى غيره ، بمثل المعنى الذى تعلق به الحكم فى الأصل . قال الله تعالى : ( فلا تقل لهما أف ) الإسراء : 23 ، فظاهر النص تحريم التأفيف وغير تحريم الضرب والشتم ، وعلة التحريم وهى الأبوة والمعنى الموجب إذا كان خفبا يسمى ( قياسا ) وإذا كان جليا يسمى دليلا ، أما فى الحالين ( الضرب والشتم ) فليس إثبات الحكم بعين النص مضافا إليه ، فيكون حد الدلالة النص هو القياس الجلى .

وقال القاضى الإمام أبو زيد رحمه الله تعالى ومن تابعه : أن دلالة النص ما ثبت بمعنى النص ، فى غير المنصوص عليه ، معنى ظاهرا يعرف بسماع اللفظ بغير تأمل ، ونظيره حرمة التأفيف : إن كل عربى سمع قال الله تعالى : ( فلا تقل لهما أف ) الإسراء : 23 ، عرف عند السماع من غير تأمل حرمة الضرب وقتله ، فيكون تحريم الضرب ثابتا بدلالة النص ، وحرمة التأفيف ثبتت بعين النص بخلاف الحكم الثابت بالقياس فإنه حكم ثبت بمعنى النص أيضا لكن بواسطة الإجتهاد .

4- اقتضاء النص وهو دلالة اللفظ على مسكوت عنه يتوقف صدق الكلام عليه .

قوله عليه الصلاة والسلام : ( رفع عن أمتى الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه )

فيلزم لصدق الكلام مقدار محذوف هو كلمة حكم فيكون المعنى رفع عن أمتى حكم الخطأ

والنسيان وما استكرهوا عليه .


 


 


 


 


 


 

إصطلاح الشافعية فى الدلالات :

وقسموا الدلالة على قسمين :

1- دلالة المنطوق وهى دلالة اللفظ فى محل النطق على حكم المذكور نحو دلالة قوله تعالى : (

وربائكم اللاتى فى حجوركم من نسائكم اللاتى دخلتم بهن )

تحريم نكاح الربيبة التى فى حجر الرجل من زوجته التى دخل بها . وينقسم المنطوق إلى صريح

وغير صريح .

وهي أقسام:

(أ) دلالة المطابقة: هي دلالة اللفظ على تمام معناه، كدلالة البيت على كل ما يتألف منه، فلو قال "بعتك هذا البيت" فإن المشتري يمتلك البيت كله بجدرانه وسقفه ونوافذه وأرضه. ومن أمثلتها من النصوص قوله تعالى: (وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا) [البقرة:257]، حيث دلت العبارة بمنطوقها على تحليل البيع وتحريم الربا.

(ب) دلالة التضمن: هي دلالة اللفظ على جزء معناه، كدلالة البيت على السقف، أو على الجدار أو على الأرض. فلو قال "بعتك هذا البيت" فإنه قد باعه أيضا الأبواب والنوافذ والسقف والجدران، ولا يستطيع البائع أن يرفض تسليم أي منها؛ لأنها داخلة تحت لفظ البيت لأنها أجزاؤه. ومن أمثلة ذلك من النصوص قوله تعالى: (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ
وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ) [المائدة:7]. فيدخل ضمن معنى (وجه) الجبهة والحاجبان والعينان، والخدان والأنف والشفتان والذقن واللحيان، والفم.

(جـ) دلالة الالتزام: هي دلالة اللفط على لازم خارج عن معناه، مثل دلالة (سقف) على الجدار، لأن الجدار لازم للسقف لأنه لا يقوم إلا عليه.

وفي النصوص يكون اللازم:

(1) دلالة اقتضاء، وهي ما توقف عليه صحة الكلام لغة أو شرعا في مثل قوله تعالى: (فَمَن كَانَ مِنكُم
مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ) [البقرة: 184] فوجب تقدير لفظ (فأفطر) بعد (سفر) لتوقف صحة الكلام على تقدير ذلك.

(2) دلالة إشارة، وهي دلالة اللفظ على حكم غير مقصود بالنص، ولكنه لازم للحكم الذي سيق الكلام له، في مثل قوله تعالى: (وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ) [البقرة:233]؛ فالآية سيقت أصلا لتبين بعبارتها أن نفقة الأم واجبة على الأب، ولكنها تدل بإشارتها على أن نسب الولد لأبيه دون أمه؛ لأن في عبارة (وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ) قد أضيف الولد إلى المولود له (الأب) بحرف الجر اللام التي هي للاختصاص والذي من أنواعه الاختصاص بالنسب، ومثل قوله تعالى (وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ
كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا) [الأحقاف:15]، فالآية سيقت أصلا لبيان المنة للوالدين على الولد لما يلحق أمه من مشقة الحمل والإرضاع، ودلت بإشارتها على أن أقل مدة الحمل ستة أشهر، لأنه قد ثبت في آية أخرى أن مدة الفصال حولين (وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ) [لقمان:14] فإذا أسقطنا مدة الفصال وهي 24 شهرا من 30 شهرا تبقى ستة أشهر هي أقل مدة الحمل.


 

2- دلالة المفهوم وهى دلالة اللفظ لا فى محل النطق على ثبوت حكم ما ذكر لما سكت عنه أو على نفى الحكم عنه .

وهي تنقسم إلى:

(أ) مفهوم الموافقة: وهي دلالة اللفظ على ثبوت حكم المنطوق للمسكوت عنه لاشتراكهما في معنى يُدرك بمجرد معرفة اللغة، وهي نوعان:

(1) فحوى الخطاب: وهو إذا كان المسكوت عنه أقوى في الحكم من المنطوق به، في مثل قوله تعالى في شأن الوالدين: (فَلاَ تَقُل لَّهُمَا
أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا) [الإسراء:24]، ففحوى الخطاب هنا هو النهي عن الإيذاء بالضرب أو الشتم أو السخرية، وهذه الأمور أقوى في التحريم من كلمة التضجر (أف). وكذلك قوله تعالى في شأن بيان المحرمات من النساء (حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ
الأَخِ وَبَنَاتُ الأُخْتِ) [النساء:23]، فالنص يدل على حرمة الزواج ممن ذكرن لعلة النسب القوي، ويدل فحواه على تحريم أخريات لم يُذكرن لأنهن أقوى في النسب ممن ذُكرن؛ فيحرم الزواج من الجدات لأنه ذكر من هن أقل منهن كالخالات والعمات، وكذلك يدل بفحواه على تحريم الزواج من بنت الابن وبنت البنت لأنه حرم من هن أقل منهن في علة الحكم وهن بنات الأخ وبنات الأخت.

(2) لحن الخطاب: وهو إذا كان المسكوت عنه مساويا في الحكم للمنطوق به، في مثل قوله تعالى: (إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي
بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا)، الذي يفيد أيضا حرمة إحراق أموال اليتيم أو إتلافها أو تبذيرها عليه أو على غيره، وفي مثل قوله تعالى: (وَمَن قَتَلَ
مُؤْمِنًا خَطَئًا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ) [النساء:92] فإنّ تقييد القتل بالخطأ في إيجاب الكفارة يدل على أن إيجابها في العمد أولى.

(ب) مفهوم المخالفة: دلالة اللفظ على ثبوت نقيض حكم المنطوق للمسكوت عنه لانتفاء قيد من القيود المعتبرة، وهو أنواع:

(1) مفهوم الصفة، وهو دلالة اللفظ المقيد الحكم بوصف على ثبوت نقيض حكمه للمسكوت عنه الذي انتفى عنه ذلك الوصف، في مثل قوله صلى الله عليه وسلم (في سائمة الغنم زكاة)، فالحكم المستفاد عن طريق المخالفة: أن غير السائمة لا زكاة فيها.

(2) مفهوم الشرط، وهو دلالة اللفظ المقيد الحكم فيه بشرط على ثبوت نقيض حكمه للمسكوت عنه الذي انتفى عنه ذلك الشرط، في مثل قوله تعالى: (وَإِن كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ) [الطلاق:6]، فالحكم المستفاد عن طريق المخالفة أن المطلقة غير الحامل لا نفقة لها.

3) مفهوم الغاية، وهو دلالة اللفظ المقيد الحكم فيه بغاية على ثبوت نقيض حكمه للمسكوت عنه بعد تلك الغاية. والغاية إما زمانية، في مثل قوله تعالى: (وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ
الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ) [البقرة:187]، الذي يفيد بالمخالفة أنه لا يجوز الأكل والشرب في رمضان بعد الفجر،

أو غاية مكانية في مثل قوله تعالى: (فاغْسِلُواْ
وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ) [المائدة:6] الذي يفيد أنه لا يجوز غسل ما وراء المرفق من اليد في الوضوء.

4 - مفهوم العدد وهو دلالة اللفظ المفيد لحكم عنده تقييده بعدد على نقيض فيما العدد نحو قوله تعالى : ( فاجلدوهم ثمانين جلدة ) .

5 - مفهوم اللقب وهو دلالة تعليق الحكم باسم جامد على نفى ذلك الحكم عن غيره .


 


 


 

المراجع

  1. الشيخ محمدالخضروي بك . 1969 م . أصول الفقه . المكتبة التجارية الكبرى ، مصر .

ط 6 .

  1. د. محمد زكى عبدالبر . 1989م . تقنين أصول الفقه . مكتبة دار التراث ، القاهرة .
  2. http://www.islamweb.net/ver2/library/TreeCategory.php?ID=26445

 

By mahirdanial

BAB 1

  1. PENDAHULUAN


     

BAB 2 – UNDANG-UNDANG PUSAKA ISLAM


 

2.1 DEFINISI

Dalam istilah ilmu faraid, harta pusaka juga dikenali sebagai al-tarikah. Lafaz al-tarikah atau al-tirkah ialah masdar bermakna maf'ul yang bererti matrukah (sesuatu yang ditinggalkan). Al-tarikah menurut bahasa , iaitu sesuatu yang ditinggalkan dan dibiarkan oleh seseorang.(H. Addys Aldisar dan H. Fathurrahman : 2004).

    Menurut istilah syarak pula berlaku perselisihan fuqaha' dalam menentukan maknanya. Perselisihan tersebut dapat dilihat seperti berikut : (Zambro Muda dan Ridzuan Awang : 2006).

  1. Jumhur fuqaha' mendefinisikan al-tarikah ialah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh si mati termasuklah harta benda, hak-hak yang mempunyai unsur kebendaan ke atas hak-hak persendirian. Kesemuanya ini akan diwarisi oleh waris atau bukan waris. Menurut pendapat ini juga, hak-hak yang boleh diwarisi termasuklah lalulintas atau hak minuman, hak manfaat ke atas barang yang disewa dan dipinjam, hak-hak khiyar seperti khiyar sharat. Begitu juga termasuk harta peninggalan si mati seperti arak yang telah menjadi cuka setelah kematiannya, diyat yang diambil dari pembunuhannya dan apa-apa yang tersangkut pada pukatnya yang telah dipasang pada masa hidupnya.
  2. Mazhab Hanafi mendefinisikan al-tarikah ialah segala harta dan hak-hak kebendaan yang menjadi milik si mati. Harta termasuklah harta alih dan tak alih serta hutang-hutang yang belum dijelaskan oleh orang lain kepadanya.
  3. Setengah pendapat mengatakan bahawa al-tarikah ialah segala harta benda yang ditinggalkan oleh si mati setelah diselesaikan hutang dan wasiatnya. Oleh itu, al-tarikah menurut pendapat ini ialah harta peninggalan si mati yang telah bersih dari hutang dan wasiat serta akan diwarisi oleh waris-warisnya yang masih hidup.


     

2.2 SUMBER UNDANG-UNDANG PUSAKA ISLAM

Sumber undang-undang pusaka Islam ialah al-Quran, al-Sunnah Nabi s.a.w dan ijmak para ulama. Ijtihad atau qiyas di dalam ilmu faraid tidak mempunyai ruang gerak, kecuali jika ia sudah menjadi ijmak para ulama.( H. Addys Aldisar dan H. Fathurrahman : 2004).

2.2.1 Al-Quran

Di dalam al-Quran terdapat dua bentuk ayat yang berkaitan dengan pusaka iaitu ayat mujmal dan ayat mufassal.

Ayat kategori pertama menjelaskan hak-hak waris dalam pusaka secara umum tanpa menentukan bahagian setiap waris secara terperinci. Firman Allah s.w.t :

ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ

"Orang lelaki ada bahagian pusaka dari peninggalan ibu bapa dan kerabat, dan orang perempuan ada bahagian pusaka dari peninggalan ibu bapa dan kerabat, sama ada sedikit atau banyak dari harta yang ditinggalkan itu; iaitu bahagian yang telah diwajibkan (dan ditentukan oleh Allah)." (al-Quran, al-Nisa' 4:7)

ﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷ ﯸ ﯹ ﯺ ﯻ ﯼ ﯽ ﯾ ﯿ ﰀ ﰁ ﰂ ﰃ ﰄ ﰅ ﰆ

"Dan orang yang beriman sesudah itu, kemudian mereka berhijrah dan berjihad bersama-sama kamu, maka adalah mereka dari golongan kamu. Dalam pada itu, orang yang mempunyai pertalian kerabat, setengahnya lebih berhak atas setengahnya yang lain menurut Kitab Allah; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui akan tiap-tiap sesuatu." (al-Quran, al-Anfal 8:75)

Manakala ayat kategori kedua, Allah s.w.t telah menjelaskan secara terperinci waris-waris dan kadar bahagian masing-masing dalam ayat al-mawaris iaitu ayat 11, 12 dan 176 dari surah al-Nisa'.


 

ﮓ ﮔ ﮕ ﮖ ﮗ ﮘ ﮙ ﮚ ﮛ ﮜ ﮝ ﮞ ﮟ ﮠ ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧ ﮨ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱ ﯓ ﯔ ﯕ ﯖ ﯗ ﯘ ﯙ ﯚ ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷ ﯸ ﯹ ﯺ ﯻ ﯼ ﯽ ﯾ ﯿ ﰀ ﰁ ﰂ ﰃ ﰄ

"Allah perintahkan kamu mengenai (pembahagian pusaka untuk) anak-anak kamu, iaitu bahagian anak lelaki menyamai bahagian dua orang anak perempuan. Tetapi jika anak-anak perempuan itu lebih dari dua, maka bahagian mereka ialah dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika anak perempuan itu seorang sahaja, maka bahagiannya ialah separuh harta itu. Dan bagi ibu bapa simati, tiap-tiap seorang dari keduanya seperenam dari harta yang harta yang ditinggalkan jika simati ada anak. Tetapi jika simati tiada anak, sedang yang mewarisinya hanyalah ibu bapanya, maka bahagian ibunya sepertiga. Kalau pula simati itu mempunyai beberapa saudara, maka bahagian ibunya ialah seperenam. (Pembahagian itu) ialah sesudah diselesaikan wasiat yang telah diwasiatkan oleh simati, dan sesudah dibayarkan hutangnya. Ibu bapa kamu dan anak-anak kamu, kamu tidak mengetahui siapa di antaranya lebih dekat manfaaatnya kepada kamu. Ini adalah ketetapan dari Allah; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana." (al-Quran, al-Nisa' 4:11)


 

ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴ ﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ ﮅ ﮆ ﮇ ﮈ ﮉ ﮊ ﮋ ﮌ ﮍ ﮎ ﮏ ﮐ ﮑ ﮒ ﮓ ﮔ ﮕ ﮖ ﮗ ﮘ ﮙ ﮚ ﮛ ﮜ ﮝ ﮞ ﮟ ﮠ ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧ ﮨ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱ ﯓ ﯔ

"Dan bagimu seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu jika mereka tiada anak. Tetapi jika mereka ada anak maka kamu beroleh seperempat dari harta yang ditinggalkan, sesudah ditunaikan wasiat yang mereka wasiatkan dengannya atau sesudah dibayar hutangnya. Dan bagi mereka (isteri-isteri) pula seperempat dari harta yang kamu tinggalkan, jika kamu tiada anak. Tetapi kalau kamu mempunyai anak maka bahagian mereka ialah seperlapan dari harta yang kamu tinggalkan, sesudah ditunaikan wasiat yang kamu wasiatkan dengannya dan sesudah dibayar hutangmu. Dan jika simati yang diwarisi itu, lelaki atau perempuan, yang tidak meninggalkan anak atau ibu bapa, dan ada meninggalkan seorang saudara lelaki, atau saudara perempuan, maka bagi tiap-tiap seorang dari keduanya ialah seperenam. Kalau pula mereka lebih dari seorang, maka mereka bersekutu pada sepertiga, sesudah ditunaikan wasiat yang diwasiatkan olehnya, dan sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memudharatkan. Itulah ketetapan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Penyabar." (al-Quran, al-Nisa' 4:12)


 

ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴ ﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ ﮅ ﮆ ﮇ ﮈ

"Mereka meminta fatwa kepadamu (mengenai masalah Kalalah). Katakanlah: Allah memberi fatwa kepada kamu dalam perkara Kalalah, iaitu jika seseorang mati yang tidak mempunyai anak dan mempunyai seorang saudara perempuan maka bagi saudara perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkan; dan ia pula mewarisi (semua harta) saudara perempuannya, jika saudara perempuannya tidak mempunyai anak. Jika saudara perempuan dua orang, maka keduanya mendapat dua pertiga dari harta yang di tinggalkan oleh si mati. Dan sekiranya mereka itu ramai, lelaki dan perempuan, maka bahagian seorang lelaki menyamai bahagian dua orang perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepada kamu supaya kamu tidak sesat. Dan (ingatlah) Allah Maha Mengetahui akan tiap-tiap sesuatu." (al-Quran, al-Nisa' 4:176) (Zambro Muda dan Ridzuan Awang : 2006).


 

2.2.2 Al-Sunnah Nabi s.a.w

Ada beberapa hadis Nabi s.a.w yang menerangkan tentang waris-waris dan pembahagian masing-masing, antaranya :

    Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a bahawa Nabi s.a.w bersabda :

"Berikanlah harta pusaka kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu, bakinya untuk waris lelaki yang lebih utama." (Hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim)(Dr. Fathur Rahman 1975).


 

"Hak wala' itu hanya bagi orang yang telah membebaskan hamba." (Hadis riwayat Muttafaqun alaih) (H. Addys Aldisar dan H. Fathurrahman : 2004).


 

"Bagi seorang anak perempuan ½, seorang anak perempuan kepada anak lelaki (cucu perempuan) 1/6 untuk melengkapkan 2/3 dan baki (asabah) untuk seorang saudara perempuan." (Hadis riwayat al-Bukhari)(Mohd Zamro & Mohd Ridzuan 2006).


 

2.2.3 Ijmak

Ijmak para sahabat dan tabi'in telah berlaku dalam pembahagian pusaka, antaranya (Mohd Zamro & Mohd Ridzuan 2006) :

  1. Nenek seorang atau dua orang (ibu kepada ibu atau ibu kepada bapa) mereka berkongsi bersama-sama dalam bahagian 1/6.
  2. Anak lelaki kepada anak lelaki akan mengambil tempat anak lelaki ketika ketiadaannya, datuk akan mengambil tempat bapa ketika ketiadaannya dan saudara lelaki sebapa akan mengambil tempat saudara lelaki seibu sebapa ketika ketiadannya.


 

2.3 HUKUM MEMBAHAGIKAN HARTA PUSAKA

Bagi umat Islam, di dalam melaksanakan peraturan-peraturan syariat Islam yang telah ditunjukkan oleh nas-nas yang yang sarih, termasuklah dalam soal pembahagian harta pusaka sekalipun, menjadi suatu kewajipan selama mana peraturan tersebut tidak ditunjukkan oleh dalil nas yang lain yang menunjukkan ketidakwajibannya. Seperti mana telah disebutkan oleh Allah s.w.t :

ﯖ ﯗ ﯘ ﯙ ﯚ ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ

"Segala hukum yang tersebut adalah batas-batas (Syariat) Allah. Dan sesiapa yang taatkan Allah dan Rasul-Nya, akan dimasukkan-Nya ke dalam syurga yang mengalir dari bawahnya beberapa sungai, mereka kekal di dalamnya; dan itulah kejayaan yang amat besar." (al-Quran, al-Nisa' 4:13)

ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷ

"Dan sesiapa yang derhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, dan melampaui batas-batas Syariat-Nya, akan dimasukkan oleh Allah ke dalam api neraka, kekallah ia di dalamnya, dan baginya azab seksa yang amat menghina."(al-Quran, al-Nisa' 4: 14)


 

Nabi s.a.w memerintahkan agar kita membahagikan harta pusaka menurut al-Quran dengan sabdanya :

"Bahagikanlah harta pusaka antara ahli-ahli waris menurut kitabullah." (Hadis riwayat Muslim & Abu Daud) (Dr. Fathurrahman 1975)


 

2.4 HUKUM BELAJAR DAN MENGAJARKAN ILMU FARAID

Rasulullah s.a.w telah memerintahkan umat Islam supaya belajar dan mengajarkan ilmu faraid. Keadaan ini perlu kerana sekiranya tidak ada para ulama ahli faraid dibimbangi akan berlakunya perselisihan di dalam membahagikan harta pusaka. Sabd Nabi s.a.w :

"Pelajarilah al-Quran dan ajarkannya kepada orang ramai dan pelajarilah ilmu faraid serta ajarkanlah kepada orang ramai. Kerana saya adalah orang yang bakal direnggut (mati), sedang ilmu itu bakal diangkat. Hampir-hampir saja dua orang yang bertengkar tentang pembahagian harta pusaka, maka mereka berdua tidak menemukan seorangpun yang sanggup memfatwakannya kepada mereka." (Hadis riwayat Ahmad, al-Nasai dan al-Daruqutni).

    Perintah tersebut bererti perintah wajib. Kewajiban belajar dan mengajar itu boleh gugur apabila ada sebahagian orang telah melaksanakannya, tetapi jika tidak ada seorang pun yang mahu melaksanakannya maka orang Islam semuanya akan menanggung dosa disebabkan melalaikan suatu kewajiban seperti juga meninggalkan kewajiban-kewajiban kifayah yang lain. (Dr. Fathurrahman 1975).

2.5 KEISTIMEWAAN UNDANG-UNDANG PUSAKA ISLAM

Undang-undang pusaka Islam mempunyai keistimewaan yang tersendiri yang tidak terdapat di dalam sistem-sistem yang lain. Di antara keistimewaannya ialah (Mohd Zamro & Mohd Ridzuan 2006):

  1. Pengasas undang-undang pusaka Islam ialah Allah s.w.t melalui ayat al-mawarith dan diperjelaskan pula oleh sunnah Rasulullah s.a.w.
  2. Ilmu faraid dianggap sebagai sebahagian daripada ilmu kerana ia berkaitan dengan keadaan manusia selepas kematian da juga pada masa hidupnya. Sabda Nabi s.a.w :

    "Pelajarilah ilmu faraid dan ajarkannya kepada manusia, sesungguhnya ia separuh daripada ilmu, ia muda dilupakan dan(ilmu faraid) merupakan ilmu yang mula-mula dicabut daripada umatku"(Hadis riwayat Ibn Majah)

  3. Matlamat terakhir undang-undang pusaka Islam ialah untuk mempastikan keadilan kepada waris iaitu dengan cara memberikan hak kepada setiap waris yang berhak dalam pembahagian harta pusaka.


 

BAB 3 UNDANG-UNDANG DAN PENTADBIRAN PUSAKA ISLAM DI MALAYSIA


 

3.1 SEJARAH UNDANG-UNDANG DAN PENTADBIRAN PUSAKA ISLAM DI MALAYSIA

Pentadbiran harta pusaka di negara Malaysia adalah suatu cabang penghakiman yang disenaraikan sebagai tugas Persekutuan mengikut senarai 1, Jadual Kesembilan, Perlembagaan Persekutuan.

Sebelum Perang Dunia Kedua, pentadbiran pusaka orang-orang Islam di Negeri-negeri Melayu Tidak Bersekutu (UFMS) seperti Kelantan, Terengganu, Johor, Kedah, dan Perlis, pentadbiran dan pembahagian harta pusaka orang-orang Islam diletakkan di bawah tanggungjawab Jabatan Agama Islam atau Mahkamah Syariah di negeri masing-masing.

Selepas Perang Dunia Kedua, hal ehwal pentadbiran dan pembahagian harta pusaka adalah dikendalikan oleh Mahkamah Sivil. Undang-undang pentadbiran dan pembahagian harta pusaka, seperti undang-undang lain yang dipakai di negara kita hari ini, adalah berasaskan satu peniruan secara tulen daripada undang-undang Inggeris.Semenjak hal ehwal pentadbiran harta pusaka diletakkan di bawah urusan Mahkamah Sivil, undang-undang mengenai pentadbiran harta pusaka merangkumi semua harta pusaka di negara ini tanpa mengira suku kaum dan agama. Walau bagaimanapun kadar pembahagian harta pusaka orang Islam hendaklah mengikut Hukum Faraid Qadi atau Mahkamah Syariah masih dikehendaki menolong urusan pembahagian harta pusaka orang-orang Islam dalam menentukan bahagian faraid, mengesahkan sesuatu nazar, wasiat dan juga membuat keputusan berkenaan dengan harta sepencarian (carian laki bini). Manakala lain-lain tuntutan atau guaman ke atas harta pusaka seperti hutang piutang dan sebagainya hendaklah dikemukakan di Mahkamah Sivil (Dato' Haji Wan Mohammad 1988).

Pentadbiran pusaka orang-orang Islam dan bukan Islam dikendalikan sepenuhnya oleh Pegawai Penyelesai Pusaka, Perbadanan Amanah Raya Berhad (Pemegang Amanah Raya) atau Mahkamah Tinggi Sivil. Walau bagaimanapun, kadar pembahagian pusaka orang-orang Islam dan penentuan waris-waris sama ada berhak atau tidak akan diputuskan oleh Mahkamah Syariah menurut undang-undang pusaka Islam (faraid). Mahkamah Syariah mempunyai kuasa mengeluar atau mengesahkan waris-waris yang berhak da kadar bahagian masing-masing dalam bentuk Sijil Faraid atau Perakuan Ahli Waris. Demikian juga perkara-perkara hukum syarak yang lain seperti menentukan kesahtarafan anak, sah atau tidak akad perkahwinan, harta sepencarian, mengesahkan wasiat, wakaf, hibah dan sebagainya, adalah di bawah tanggungjawab dan kuasa Mahkamah Syariah (Mohd Zamro & Mohd Ridzuan 2006).


 

3.2 UNDANG-UNDANG HARTA PUSAKA DI MALAYSIA

Terdapat dua buah undang-undang yang menetapkan cara-cara dan peraturan pentadbiran harta pusaka di Malaysia iaitu (Dato' Haji Wan Mohammad 1988) :

3.2.1 Akta Probet dan Pentadbiran 1959 (Akta 97)

Akta ini dilaksanakan terhadap harta pusaka besar (biasa) dan hara pusaka ringkas. Harta pusaka besar ialah harta pusaka yang jumlah nilainya lebih daripada RM 600,000.00 sama ada terdiri daripada harta alih semuanya atau semuanya harta tak alih atau terdiri dari campuran harta alih dengan harta tak alih atau harta pusaka yang jumlah nilainya kurang daripada RM 600,000.00 tetapi si mati ada meninggalkan wasiat.

Akta Probet dan Pentadbiran 1959 telah dikuatkuasakan pemakaiannya di seluruh Semenanjung Malaysia pada 1hb Februari 1960. Akta ini memperuntukan cara-cara untuk mendapatkan surat kuasa probet dan surat kuasa tadbir. Permohonan untuk mendapatkan surat kuasa probet dan surat kuasa tadbir boleh dibuat di Mahkamah Tinggi Sivil. Menurut akta ini terdapat tiga jenis surat kuasa wasiat dan kuasa tadbir, iaitu :

i. Surat kuasa wasiat (probet) jika si mati meninggalkan wasiat yang meliputi semua hartanya (bagi si mati yang bukan beragama Islam).

ii. Surat kuasa tadbir bagi harta pusaka tanpa wasiat (intestate estate).

iii. Surat kuasa tadbir dengan wasiat berkembar apabila si mati meninggalkan wasiat untuk sebahagian daripada harta peninggalanya dan sebahagian yang lain tanpa wasiat.

3.2.2 Akta Harta Pusaka Kecil (Pembahagian) 1955 (Akta 98)

Akta ini merupakan undang-undang bersifat tadbiran. Tujuan akta ini diperkenalkan ialah untuk menyelaraskan dan menyeragamkan cara-cara pembahagian dan tadbiran pusaka si mati sama ada beragama Islam atau bukan beragama Islam. Di samping itu, akta ini diluluskan bertujuan untuk menjimatkan perbelanjaan dan mempercepatkan urusan pengendalian dan pengurusan sesuatu tuntutan pembahagian pusaka kecil. Akta ini diguna pakai kepada semua tuntutan harta pusaka seseorang si mati sama ada semuanya mengandungi tanah-tanah sahaja atau sebahagiannya mengandungi tanah bersama dengan harta-harta alih yang lain seperti wang tunai, saham, Kumpulan Wang Simpanan Pekerja (KWSP), Amanah Saham Nasional (ASN), Amanah Saham Bumiputera (ASB), Amanah Saham Johor (ASJ), dan sebagainya tetapi jumlah nilaian harta itu hendaklah tidak melebihi RM 600,000.00 pada tarikh permohonan dibuat. (Mohd Zamro & Mohd Ridzuan 2006)


 

3.3 UNDANG-UNDANG YANG BERKAITAN DENGAN PENTADBIRAN PUSAKA ISLAM

Di antara undang-undang yang berkaitan dengan pentadbiran pusaka Islam ialah (Mohd Zamro & Mohd Ridzuan 2006):

3.3.1 Undang-undang Pusaka Islam (Faraid)

Sehingga hari ini, di Malaysia tidak ada satu bentuk undang-undang pusaka Islam (faraid) yang telah dikanunkan dalam bentuk undang-undang bertulis oleh negeri-negeri seperti yang terdapat di Mesir iaitu Qanun al-Mawarith 1943. Walau bagaimanapun, kaedah pembahagian pusaka secara Islam telah diikuti sepenuhnya oleh Mahkamah Syariah negeri-negeri. Dalam hal ini, rujukan bolehlah dibuat kepada kitab-kitab fiqh Mazhab Shafie untuk menetukan kedudukan waris-waris dan bahagian-bahagian yang sepatutnya mereka terima dalam harta pusaka si mati yang beragama Islam.

3.3.2 Undang-Undang Pusaka Bukan Islam

Manakala bagi orang-orang bukan Islam, cara-cara pembahagian harta pusaka mereka ditetapkan dalam Akta Pembahagian 1958 (Akta 300). Akta ini diluluskan bertujuan untuk menjelaskan hak-hak perwarisan harta si mati yang bukan beragama Islamserta bahagian-bahagian setiap seorang daripada mereka. Akta ini terpakai sekiranya si mati tidak meninggalkan wasiat. Bahgian setiap waris mengikut akta ini berbeza-beza mengikut keadaa sesuatu kes itu. Sebagai contoh bapa atau ibu masing-masing mendapat ½ bahagian jika si mati tidak mempunyai waris lain. Jika ada waris lain lain, bapa akan mendapat 1/8 dan ibu mendapat 1/8 bahagian. Jika si mati meninggalkan bapa, ibu, isteri dan anak-anak, maka bapa mendapat 1/8, ibu 1/8 isteri 2/8, dan anak-anak mendapat 4/8 bahagian. Sebaliknya, jika si mati hanya meninggalkan suami dan atau isteri tanpa waris-waris yang lain, maka suami atau isteri akan mendapat kesemua bahagian harta si mati dan jika si mati tidak mempunyai waris, maka menurut akta ini harta pusaka si mati akan kembali kepada kerajaan. Anak yang tidak sah taraf tidak boleh mewarisi harta ibunya jika ada anak yang sah taraf.

3.3.3 Akta Tanah (Kawasan-kawasan Penempatan berkelompok) 1960

Akta ini dilaksanakan terhadap tanah-tanah yang dibuka di bawah rancangan pembangunan FELDA. Peneroka-peneroka yang telah berjaya memasuki rancangan FELDA, mereka diberikan sebidang tanah pertanian seluas lebih kurang 6 hingga 10 ekar dan sebidang tanah untuk tapak rumah. Peneroka akan memebayar kepasa FELDA secara beransur-ansur dengan cara 'Bayaran Tahunan Disatukan' setelah tanah rancangannya mengeluarkan hasil, kebiasaannya selepas 6 tahun. Tempoh 'Bayaran Tahunan Disatukan' adalah selama 15 tahun. Tanah rancangan FELDA itu didaftarkan di atas nama Daftar Pegangan Desa dan hakmilik tanah itu belum lagi didaftar dan dikeluarkan oleh Pejabat Tanah Daerah, kecuali setelah semua bayaran dijelaskan sepenuhnya oleh peneroka.

Apabila berlaku kematian seseorang peneroka semasa tanahnya masih di bawah Daftar Pegangan Desa, maka seksyen 16, akta ini mengkehendaki supaya tanah itu diturun milik kepada seorang waris yang berhak sahaja. Jika lebih dari seorang yang berhak dan mereka bersetuju secera maufakat memberi seorang sahaja daripada mereka, pentadbir tanah boleh menjual pegangan itu dan hasil jualannya dibahagikan di kalangan orang-orang berhak mengikut hukum syarak (faraid).

3.3.4 Enakmen Rizab Melayu Negeri-negeri

Enakmen ini melarang sebarang urusniaga dan pindah milik tanah simpanan Melayu kepada bukan Melayu. Enakmen ini menghadkan penurunan milik tanah simpanan Melayu si mati kepada waris yang bukan Melayu, tetapi beragama Islam. Dari segi hukum syarak mereka berhak kepada harta pusaka itu .

3.3.5 Enakmen Pentadbiran Agama Islam Negeri-negeri

Enakmen ini pula mempunyai kuasa untuk memutuskan beberapa perkara yang berkaitan dengan harta seorang islam terutamanya mengenai harta sepencarian, pusaka, hibah, dan wakaf. Kadangkala dalam kes-kes tertentu fatwa mufti diperlukan bagi menetukan harta pusaka dan orang yang berhak terhadap harta itu.

3.3.6 Undang-undang Penama

Melantik penama satu arahan yang sah mengikut undang-undang dan amalan itu meliputi seluruh orang-orang Islam, berbeza dengan Ordinan Wasiat 1959, yang hanya dipakai bagi orang-orang yang bukan beragama Islam sahaja. Persoalan penamaan (Nomination) pada hakikatnya adalah sama dengan wasiat harta benda. Apabila berlaku kematian ke atas seorang penyimpan harta dan wang itu akan menjadi hak mutlak penama sedangkan penama itu kebanyakannya terdiri daripada ahli-ahli waris yang berhak menerima pusaka. Bagi orang-orang Islam, pelantikan penama seperti ini jelas bertentangan dengan hukum faraid dan undang-undang wasiat Islam . Apabila membicarakan soal penamaan ia melibatkan dua jenis harta iaitu :

  1. Harta simpanan dalam institusi kewangan seperti Kumpulan Wang Simpanan Pekerja, Bank Simpanan Nasional, Tabung Haji dan sebagainya.

2) Wang insuran nyawa yang ditinggalkan oleh si mati.


Pelantikan penama sudah lama diamalkan di Malaysia baik tentang harta orang-orang islam atau orang-orang bukan Islam, tetapi baru-baru ini perkara ini telah mendapat perhatian pihak berkuasa yang mengambil keputusan bahawa amalan penamaan dan undang-undang penamaan yang bercanggah dengan hukum dan wasiat Islam hendaklah dipinda supaya tidak membolehkan orang-orang Islam membuat sebarang penamaan atau supaya penamaan hanya boleh dibuat oleh orang-orang bukan Islam sahaja.

3.3.7 Customary Tenure Enactment

Enakmen ini lebih dikenali sebagai Enakmen Pengangan Adat (Bab 215) yang memperuntukan cara-cara pembahagian harta pusaka berkaitan dengan tanah adat di Negeri Sembilan dan Melaka. Tanah adat ialah tanah dibawah hak milik Pejabat Tanah yang diwartakan di bawah Enakmen Pegangan Adat dan Enakmen Pegangan Adat (Tanah Lengkongan) 1960 dan ianya diwarisi secara turun temurun oleh sesuatu kaum secara berkelompok. Dalam sijil daftar tanah adapt tercatat nama suku atau kaum berkenaan. Tanah adat banyak terdapat di daerah Jelebu, Rembau, Kualau Pilah, Jempol, Tampin dan Gemas di Negeri Sembilan. Sementara di Melaka pula di Alor Gajah dan Jasin .

3.3.8 Peraturan-peraturan Harta Pusaka Kecil (Pembahagian) 1955 dan Pekeliling-pekeliling Berkaitan

Selain undang-undang di atas, terdapat peraturan-peraturan Harta Pusaka Kecil (Pembahagian) 1955 dan perkeliling-pekeliling yang dikeluarkan oleh Jabatan Ketua Pengarah Tanah dan Galian di Kementerian Tanah dan Pembangunan Koperasi dari semasa ke semasa bagi menyelesaikan pembahagian harta pusaka kecil.


 

3.4 PENTADBIRAN HARTA PUSAKA DI MALAYSIA

Mengikut Akta Probet dan Pentadbiran Harta Pusaka 1959 dan Akta Harta Pusaka Kecil (Pembahagian) 1955, pentadbiran harta pusaka boleh dibahagikan kepada tiga jenis iaitu Pentadbiran Harta Pusaka Biasa (Besar), Pentadbiran Harta Pusaka Ringkas dan pentadbiran Harta Pusaka Kecil (Dato' Haji Wan Mohammad 1988).

3.4.1 Harta Pusaka Biasa

Harta Pusaka Besar atau biasa ialah semua jenis harta peninggalan si mati yang jumlah nilaiannya RM 600,000.00 ke atas sama ada terdiri daripada harta tak alih semuanya atau harta alih semuanya atau campuran kedua-duanya ataupun harta pusaka yang jumlah nilaiannya kurang daripada RM 600,000.00 tetapi si mati ada meninggalkan wasiat. Pentadbirannya tertakluk kepada Akta Probet dan Pentadbiran 1959. Permohonan hendaklah dibuat di Mahkamah Tinggi Sivil yang berhampiran dengan tempat tinggal si mati untuk mendapatkan sama ada probet (surat kuasa wasiat dari orang bukan Islam), surat kuasa mentadbir pusaka (bagi pusaka tanpa wasiat)ataupun surat kuasa tadbir dengan wasiat berkembar. (bagi si mati yang meninggalkan wasiat sebahagiaan hartanya).

Bagi orang yang beragama Islam, si mati hanya boleh mewasiatkan hartanya tidak melebihi 1/3 kepada pihak-pihak yang lain selain daripada waris-warisnya kecuali dengan persetujuan waris-waris lain. Dokumen-dokumen yang diperlukan semasa membuat tuntutan harta pusaka besar sama dengan dokumen-dokumen yang diperlukan semasa menuntut harta pusaka kecil termasuklah surat wasiat terakhir si mati. Permohonan boleh dibuat oleh waris-waris si mati atau si piutang sama ada secara persendirian, melalui khidmat peguam ataupun menerusi bantuan Pegawai Penyelesai Pusaka atau ARB. Setiap permohonan hendaklah didaftarkan di Pejabat Pendaftaran Pusat di Mahkamah Tinggi Kuala Lumpur bagi menentukan sama ada harta pusaka tersebut telah dituntut atau sebaliknya.

Kebiasaannya orang yang diberi probet atau surat kuasa mentadbir pusaka kecuali bagi Pegawai Penyelesai Pusaka atau ARB, disyaratkan mendapat seorang atau dua orang penjamin. Jika sekiranya pempetisyen mengalami kesulitan mendapatkan penjamin-penjamin yang layak dan sesuai, amak dia bolehlah memohon kepada mahkamah bagi mendapatkan perintah pengecualian daripada mengemukakan penjamin-penjamin atau pendapat khidmat penjamin profesional seperti sayarikat insuran atau institusi bank dengan bayaran yuran yang telah ditetapkan oleh syarikat atau institusi tersebut berdasarkan jumlah harta pusaka .

Surat kuasa mentadbir pusaka atau probet hanya boleh dikeluarkan apabila perintah pengecualian penjamin telah diperolehi dan bon (surat ikatan ikrar) pentadbiran telah ditandatangani oleh pempetisyen. Setelah pempetisyen memperoleh surat kuasa tersebut, dia hendaklah mendaftarkannya di pejabat tanah yang berkenaan supaya semua suratan-suratan hak milik tersebut didaftarkan atas nama pempetisyen sebagai wakil peribadi si mati . Menjadi tanggungjawab pempetisyen untuk memohon kepada mahkamah sebaik sahaja dia menghasilkan semua asset si mati membuat satu perintah pembahagian terhadap harta pusaka kepada waris-waris menurut faraid atau menurut terma-terma wasiat si mati ataupun Ordinan Pentadbiran Harta Pusaka.

3.4.2 Harta Pusaka Ringkas

Iaitu harta pusaka yang jumlah nilaiannya tidak melebihi RM 600,000.00 yang terdiri daripada harta alih sahaja tanpa wasiat seperti wang tunai, saham, KWSP, ASN ASB, kereta, wang simpanan dan sebagainya. Permohonan untuk penyelesaian dan pembahagian harta pusaka ringkas hendaklah dibuat melalui Pegawai Pentadbir Pusaka atau Pengarah Perbadanan Amanah Raya Berhad.

Terdapat satu peruntukan khas dalam Akta Probet dan Pentadbiran 1959 yang memberi kuasa kepada pegawai pentadbir pusaka atau pemegang Amanah Raya untuk mentadbir dan menyelesaikan harta pusaka ringkas tanpa perlu membuat permohonan Surat Kuasa Tadbir kepada Mahkamah Tinggi Sivil. Pembahagian harta pusaka tersebut dibuat kepada waris-waris yang berhak mengikut kadar tertentu sepertimana yang dinyatakan dalam Sijil Faraid yang dikeluarkan oleh Mahkamah Syariah .

3.4.3 Harta Pusaka Kecil

Harta Pusaka Kecil ialah harta yang ditinggalkan oleh si mati tanpa wasiat yang terdiri daripada harta tak alih sahaja atau campuran di antara harta alih dan harta tak alih yang jumlah nilainya tidak melebihi RM 600,000.00 pada tarikh permohonan dibuat.

Undang-undang yang dipakai dalam pentadbiran harta pusaka kecil ialah Akta Pusaka Kecil (Pembahagian) 1955 dan pekeliling-pekeliling yang dikeluarkan oleh Jabatan Ketua Pengarah Tanah dan Galian di Kementerian Tanah dan Pembangunan Koperasi dari semasa ke semasa. Tuntutan pembahagian harta pusaka kecil bagi orang-orang Islam dan bukan Islam boleh dibuat di Pejabat Pusaka Kecil atau Pejabat Tanah di hadapan Pegawai Penyelesai Pusaka. Terdapat 37 unit pembahagian pusaka kecil di seluruh semenanjung Malaysia. Unit ini diletakan di bawah Jabatan Ketua Pengarah Tanah dan Galian di Kementerian Tanah dan Pembangunan Koperasi. Kebiasaannya tuntutan atau permohonan pembahagian harta pusaka kecil dibuat di Pejabat Tanah di mana harta tak alih si mati terletak. Sekiranya si mati mempunyai tanah yang banyak tempat, sama ada di negeri yang sama atau negeri yang berlainan maka daerah yang mempunyai nilai harta si mati yang paling tinggi akan mempunyai bidangkuasa untuk menyelesaikannya.(Mohd Zamro & Mohd Ridzuan 2006).


 

3.5 PENGURUSAN PENTADBIRAN HARTA PUSAKA DI MALAYSIA

Urusan pentadbiran dan pembahagian harta pusaka di Malaysia terletak di bawah bidang kuasa institusi berikut (Fitri 2007) :

3.5.1 Ketua Jabatan/Agensi

Berkuasa membahagi harta pusaka boleh alih, nilaian tidak melebihi RM 2,000 menurut Pekeliling Perbendaharaan bil. 2/86. Memandangkan taraf kehidupan dan ekonomi kakitangan kerajaan masa kini yang meningkat, kaedh ini jarang dipraktikkan.

3.5.2 Amanah Raya Berhad (ARB)

Berkuasa mentadbir dan membahagikan harta pusaka boleh alih tanpa wasiat yang nilaiannya tidak melebihi RM 600,000 (mengikut Akta Perbadanan Amanah Raya Berhad 1995 dan Akta Probet dan Pentadbiran 1959).

Peranan ARB termasuklah :

  1. Mengeluarkan perintah pembahagian dalam bentuk 'Surat Arahan' ke atas harta pusaka si mati yang terdiri daripada harta-harta alih sahaja tanpa wasiat dan nilainya tidak melebihi RM 50,000.
  2. Mengeluarkan 'Surat Akuan ARB' ke atas harta kusaka si mati yang terdiri daripada harta-harta alih sahaja tanpa wasiat dan nilaiannya tidak melebihi RM 600,000.

3.5.3 Pentadbir Tanah / Seksyen Pembahagian Pusaka, Jabatan Ketua Pengarah Tanah dan Galian

Berkuasa dan bertanggungjawab mentadbir da membahagikan harta pusaka tidak boleh alih da boleh alih, tanpa wasiat yang nilaiannya tidk melebihi RM 600,000 (Mengikut Akta Harta Pusaka Kecil (Pembahagian) 1955)

Di dalam Ministrial Functions Act 1969, Order 1991, Peguam Negara mengarahkan hal pengurusan dan pembahagian harta pusaka kecil diletakkan di bawah Ketua Pengarah Tanah dan Galian dan dengan itu diwujudkan jawatan pegawai penyelesai pusaka kecil (penolong pengarah) pada tahun 1974, khusus bagi tugas-tugas pembahagian harta pusaka.

3.5.4 Mahkamah Tinggi

Mahkamah tinggi mempunyai kuasa membahagikan harta pusaka berwasiat dan tanpa wasiat, pada semua jenis harta alih dan tidak alih dan tidak tertakluk kepada sebarang nilaian harga (Akta Probet dan Pentadbiran 1959). Mahkamah Tinggi juga berkuasa mendengar dan memutuskan sebarang rayuan ke atas keputusan oleh ARB dan pentadbir tanah.

3.5.5 Mahkamah Syariah

Enakmen Pentadbiran Undang-undang Islam Negeri-negeri memberi kuasa kepada Mahkamah Syariah bagi mengeluarkan sijil faraid. Sjil faraid adalah dokumen akuan pewarisan orang beragama Islam, yang menyatakan kesahihan ahli-ahli waris dan bahagian-bahagian yang diperoleh. Mahkamah Syariah tidak mempunyai kuasa mendengar kes perbicaraan harta pusaka serta mengeluarkan perintah pembahagian.


 

3.6 KUASA PERSEKUTUAN DAN NEGERI TERHADAP HARTA PUSAKA

Terdapat dua peruntukan yang berbeza dalam Jadual ke 9 Perlembagaan Persekutuan, di mana undang-undang pusaka orang-orang Islam (faraid) diletakkan di dalam Senarai 2(1) iaitu Senarai Negeri yang dan pentadbiran pusaka orang-orang Islam di bawah Senarai 1(4)(e) iaitu Senarai Persekutuan. Ini bermakna undang-undang pusaka orang-orang Islam terletak di bawah bidang kuasa negeri-negeri manakala pentadbiran pusaka orang-orang Islam terletak di bawah bidang kuasa Kerajaan Persekutuan.

Oleh kerana itu, Parlimen telah meluluskan dua jenis undang-undang bagi mentadbir pusaka orang Islam dan bukan Islam iaitu akta Harta Pusaka Kecil (Pembahagian) 1955 dan Akta Probet dan Pentadbiran 1959. Dalam pentadbiran dan penyelesaian kes-kes pusaka orang Islam, Mahkamah Syariah hanya diberi kuasa memperaku dn mengesahkan bahagian-bahagian yang akan diperolehi oleh waris-waris dalam bentuk 'Sijil Faraid' atau 'Perakuan Ahli Waris' sahaja. (Mohd Zamro & Mohd Ridzuan 2006).


 

3.7 KETENTUAN MAZHAB SYAFIE DI DALAM HARTA PUSAKA

Beberapa pendapat Mazhab Syafie terhadap masalah di dalam pembahagian harta pusaka yang digunakan di Malaysia (Dr. Haji Abdullah 1980) :

  1. Mengenai hutang piutang : hutang kepada tuhan, seperti zakat dan haji lebih diutamakan daripada hutang kepada manusia.
  2. Mengenai pembunuhan : tidak ada pusaka bagi pembunuh dalam pengertian membunuh dengan sengaja atau tidak sengaja
  3. Membahagikan ahli waris kepada lima kelompok : iaitu zu-faraid, asabah, zu-arham, mu'tiq (orang yang memerdekakan hamba sahaya) dan asabahnya yang lelaki, dan negara kerana pengambil alihan seperti baitul mal.
  4. Mengenai pengertian kalalah : tidak ada anak ke bawah (tidak ada keturunan) dan ayah telah meninggal dunia lebih dahulu.
  5. Mengenai datuk bila mewarisi bersama-sama dengan saudara kandung lelaki da perempuan dan saudara sebapa lelaki mahupun perempuan, maka datuk diberi pilihan salah satu dari tiga cara pembahagian yang lebih menguntungkan baginya, iaitu :
    1. Muqasamah, pembahagian sama rata dengan saudara sekandung dan sebapa
    2. Sepertiga dari baki harta pusaka bila tidak ada zu-faraid
    3. Seperenam dari harta pusaka sebagai zu-faraid.
  6. Mengenai asabah : urutan keutamaannya ialah dari keturunan, bapa sahaja, datuk dan para saudara lelaki, keturunan saudara lelaki dan keturunan nenek moyang yang jauh, yang lebih dekat kepada si amati menyingkirkan yang leih jauh.
  7. Mengenai zu-arham : orang yang mempunyai hubungan darah dengan si mati tetapi bukan zu-faraid dan bukan pula asabah seperti cucu perempuan ditempatkan pada tempat anak perempuan dan menerima pusaka seperti anak perempuan
  8. Mengenai Baitul Mal : Jika tiada zu-faraid dan asabah maka harta pusaka si mati diambil alih oleh Baitul Mal.
    1. Mengenai wasiat : tidak boleh lebih daripada 1/3 harta pusaka.


 

4.1 PENUTUP


 

5.1 BIBLIOGRAFI

Al-Quran al-Karim

Dr Fathurrahman. 1975. Ilmu Waris. Bandung: Penerbit Al Maarif.

Mohd Zamro Muda & Mohd Ridzuan Awang. 2006. Undang-Undang Pusaka Islam
Pelaksanaan di Malaysia. Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia.

Fitri Abdul Rahman. 2007. Bagaimana Mengurus Harta Pusaka. Kuala lumpur: PTS Professional Publishing Sdn Bhd.

H.Addys Aldizar, Lc & H. Fathurrahman, Lc. 2004. Hukum Waris. Jakarta: Senayan Abadi Publishing.

Dr Haji Abdullah Siddik, SH. 1984. Hukum Waris Islam Dan Perkembangannya di Seluruh Dunia Islam. Bandung: Penerbit Widjaya Jakarta.

Dato' Haji Wan Mohammad Hj Wan Mustapha. 1988. Pentadbiran Harta Pusaka Orang Islam. Kuala Lumpur: Al-Rahmaniah.

Al-Zuhaily, Wahbah. 1989. Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Jil. 8. Damsyik: Darul Fikr

Mohd Ridzuan bin Awang. 2003. Undang-Undang dan Pentadbiran Pusaka, Wasiat, dan Wakaf: Pengajian Jarak Jauh. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia.

Mohd Ridzuan Awang. 1988. Undang-undang dan Pentadbiran Harta Pusaka Orang Islam di Malaysia. Kuala Lumpur: Al-Rahmaniah.

 

Googlr Translate

ARCHIVES